Pandangan Jalaludin Rumi tentang takdir dan ikhtiar ini sangatlah istimewa, sangat berbeda dari kebanyakan pendapat dari para ahli tasawuf lainnya yang senantiasa menyerahkan sesuatu kepada nasib dan takdir. Oleh sebab itulah kebanyakan kaum shufi banyak yang menganut madzhab jabariyah. Namun bagi seorang Jalaludin Rumi, sekali-kali manusia tidak boleh menyerah dan tunduk begitu saja kepada takdir. Manusia hidup ialah untuk terus berjuang dan terus bekerja. Insan dilepaskan ke dunia ini dengan penuh kemerdekaan, maka dari itu mereka semestinya berusaha sendiri mengisi kebahagiaan hidupnya dan memberi nilai kehidupannya masing-masing.
Di dalam salah satu keterangannya, dikisahkan tentang takdir dan ikhtiar dalam percakapan antara binatang-binatang rimba dengan seekor singa.
Pada suatu hari, terjadilah pertukaran pikiran diantara binatang-binatang itu dengan singa.
Binatang-binatang itu berkata, "Adakah sesuatu yang lebih baik dari pada menyerah begitu saja?" Cobalah lihat, berapa banyak kah makhluk-makhluk yang lari dari suatu bencana (mara bahaya) padahal mereka sejatinya tahu akan ada mara bahaya berikutnya? Berapa banyak kah binatang-binatang yang lari dari kejaran seekor ular besar, padahal di tempat persembunyian mereka telah menunggu juga seekor naga yang besar? Lihat lah raja Fir'aun, dia membunuh ribuan anak, padahal anak yang paling ia takuti ada di rumahnya sendiri. Pandangan mata kita sebenarnya buta, maka lebih kita larut ke dalam pandangan pandangan Sang Kekasih (Tuhan). Pandangan Tuhan adalahyang lebih baik untuk dijadikan pengganti dari pandangan kita.
Dalam pandangan-Nya lah tersimpan segala sesuatu yang kita kehendaki. Lihatlah seorang anak kecil yang digendong ayahnya di pundaknya, kelak apabila ia sudah besar dan bisa dilepaskan (berjalan sendiri), diapun akan turun dari pundak itu dan berjalan dengan kedua kakinya itu, dengan tenaganya sendiri. Sejak saat itulah ia akan mulai merasakan ditimpa musibah dan segala kesusahan serta penderitaan selama hidupnya.
Demikian juga dengan makhluk, sebelum badannya diciptakan, sebelum ia berkaki dan bertangan, pada saat itu nyawa masih berenang dengan senangnya dalam alam yang suci. Demi setelah ia dititahkan untuk turun ke dunia, maka terikatlah ia ke dalam satu penjara yang gelap, dibelenggu oleh kesusahan dan penderitaan hati yang tanpa henti. Maka kita ini adalah bagaikan seorang anak kecil yang masih sering meminta susu".
Seekor singa tersebut lantas menjawab: "Perkataanmu itu sebagian benar, akan tetapi tidak kah engkau ingat bahwa Tuhan yang menjadikan hamba-Nya itu menyandarkan tangga di dalam hidup kita? Apa gunanya tangga itu tersandar jika bukan untuk dinaiki oleh kita. Kita semestinya menaiki itu setangga demi setangga. Menyerah begitu saja kepada takdir itu adalah suatu kebebalan. Bagimu diberikan dua tangan, apakah engkau memungkiri kegunaan tangan itu? Apabila Tuhan telah memberikan kapak kepada hamba-Nya, si hamba sudah semestinya tahu bahwasannya kapak itu gunanya untuk menebas kayu, walaupun Tuhan tidak mengatakan apa gunanya. Bukankah tangan itu ibarat sebuah kapak tersebut?".
Mari kita pahami baik-baik isyarat yang terkandung. Berusaha di dalam hidup adalah karena mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Menyerah begitu saja kepada takdir sama saja dengan mengkafiri nikmat-Nya. Bagaimana kah seekor burung akan bisa terbang jika kedua sayapnya tidak bergerak lagi? Kalau engkau benar-benar hendak hidup, maka seharusnya bertawakkal, beramal. Buatlah benih, gunakanlah air yang ada, dan serahkanlah hasilnya kepada Yang Maha Pencipta.
Orang yang nyaris tenggelam di dalam pusaran air, berusaha hendak melepaskan diri dari mara bahaya itu. Maka diulurkanlah tangannya mencari suatu pegangan. Dan Tuhan tersenyum melihat seorang hamba tengah berusaha melepaskan diri. Berjuang keras melepaskan diri entah itu berhasil atau tidak, lebih baik daripada hanya tidur.
Sumber gambar: hidayatullah.com |
Di dalam salah satu keterangannya, dikisahkan tentang takdir dan ikhtiar dalam percakapan antara binatang-binatang rimba dengan seekor singa.
Pada suatu hari, terjadilah pertukaran pikiran diantara binatang-binatang itu dengan singa.
Binatang-binatang itu berkata, "Adakah sesuatu yang lebih baik dari pada menyerah begitu saja?" Cobalah lihat, berapa banyak kah makhluk-makhluk yang lari dari suatu bencana (mara bahaya) padahal mereka sejatinya tahu akan ada mara bahaya berikutnya? Berapa banyak kah binatang-binatang yang lari dari kejaran seekor ular besar, padahal di tempat persembunyian mereka telah menunggu juga seekor naga yang besar? Lihat lah raja Fir'aun, dia membunuh ribuan anak, padahal anak yang paling ia takuti ada di rumahnya sendiri. Pandangan mata kita sebenarnya buta, maka lebih kita larut ke dalam pandangan pandangan Sang Kekasih (Tuhan). Pandangan Tuhan adalahyang lebih baik untuk dijadikan pengganti dari pandangan kita.
Dalam pandangan-Nya lah tersimpan segala sesuatu yang kita kehendaki. Lihatlah seorang anak kecil yang digendong ayahnya di pundaknya, kelak apabila ia sudah besar dan bisa dilepaskan (berjalan sendiri), diapun akan turun dari pundak itu dan berjalan dengan kedua kakinya itu, dengan tenaganya sendiri. Sejak saat itulah ia akan mulai merasakan ditimpa musibah dan segala kesusahan serta penderitaan selama hidupnya.
Demikian juga dengan makhluk, sebelum badannya diciptakan, sebelum ia berkaki dan bertangan, pada saat itu nyawa masih berenang dengan senangnya dalam alam yang suci. Demi setelah ia dititahkan untuk turun ke dunia, maka terikatlah ia ke dalam satu penjara yang gelap, dibelenggu oleh kesusahan dan penderitaan hati yang tanpa henti. Maka kita ini adalah bagaikan seorang anak kecil yang masih sering meminta susu".
Seekor singa tersebut lantas menjawab: "Perkataanmu itu sebagian benar, akan tetapi tidak kah engkau ingat bahwa Tuhan yang menjadikan hamba-Nya itu menyandarkan tangga di dalam hidup kita? Apa gunanya tangga itu tersandar jika bukan untuk dinaiki oleh kita. Kita semestinya menaiki itu setangga demi setangga. Menyerah begitu saja kepada takdir itu adalah suatu kebebalan. Bagimu diberikan dua tangan, apakah engkau memungkiri kegunaan tangan itu? Apabila Tuhan telah memberikan kapak kepada hamba-Nya, si hamba sudah semestinya tahu bahwasannya kapak itu gunanya untuk menebas kayu, walaupun Tuhan tidak mengatakan apa gunanya. Bukankah tangan itu ibarat sebuah kapak tersebut?".
Mari kita pahami baik-baik isyarat yang terkandung. Berusaha di dalam hidup adalah karena mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Menyerah begitu saja kepada takdir sama saja dengan mengkafiri nikmat-Nya. Bagaimana kah seekor burung akan bisa terbang jika kedua sayapnya tidak bergerak lagi? Kalau engkau benar-benar hendak hidup, maka seharusnya bertawakkal, beramal. Buatlah benih, gunakanlah air yang ada, dan serahkanlah hasilnya kepada Yang Maha Pencipta.
Orang yang nyaris tenggelam di dalam pusaran air, berusaha hendak melepaskan diri dari mara bahaya itu. Maka diulurkanlah tangannya mencari suatu pegangan. Dan Tuhan tersenyum melihat seorang hamba tengah berusaha melepaskan diri. Berjuang keras melepaskan diri entah itu berhasil atau tidak, lebih baik daripada hanya tidur.
0 komentar:
Post a Comment